Akulturasi Budaya Pada Suku
Jawa
1. Slametan
Kehidupan masyarakat Jawa
tidak dapat dilepaskan dari berbagai ritual keagamaan. Ritual ini telah ada
sejak sebelum kedatangan Islam di Indonesia. masyarakat Jawa memiliki
kepercayaan terhadap keberadaan roh halus pada setiap benda (animisme). Orang
Jawa mempercayai keberadaan roh baik dan roh jahat di berbagai tempat. Roh
jahat dipercaya akan mengganggu manusia setiap saat, dan baru berhenti ketika diberikan
sesaji.
Pemberian sesaji harus
dilakukan melalui serangkaian upacara. Sesaji dipersembahkan kepada roh yang
biasanya bermukim di pohon beringin, sendang, belik, kuburan-kuburan, atau
tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Pemberian sesaji dilakukan dalam
bentuk upacara. Upacara juga dilakukan untuk meminta berkah dari roh baik.
untuk melestarikan upacara pemujaan itu, masyarakat membuat patung dari batu
sebagai tempat-tempat pemujaan nenek moyang. Mereka juga membuat bunyi-bunyian,
tari-tarian, dan bayang-bayang nenek moyang sebagai penyempurna jalannya
upacara. Hal ini bertujuan agar roh nenek moyang berkenan menerima permohonan
keselamatan yang mereka minta.
Salah satu upacara yang
dianut oleh masyarakat Jawa adalah slametan. Slametan atau wilujengan merupakan
salah satu upacara pokok dari hampir seluruh ritus dalam sistem religi orang
Jawa pada umumnya. Slametan ini biasanya dilakukan di salah satu rumah yang
memiliki hajat tertentu, dengan mengundang keluarga dan tetangga terutama yang
laki-laki. Slametan seringkali diadakan pada malam hari. Slametan dilakukan
untuk memperingati beberapa hal seperti kelahiran, pernikahan, dan juga
kematian.
Selamatan merupakan salah
satu tradisi masyarakat Jawa yang mengalami akulturasi. Masyarakat Jawa dikenal
dengan tradisi budayanya yang kental dan dipengaruhi oleh ajaran dan
kepercayaan dari kebudayaan Hindu-Budha. Oleh karena itu, para ulama Islam yang
menyebarkan agama Islam di Jawa, atau lebih dikenal sebagai Wali Songo,
melakukan langkah akulturasi sebagai cara mereka untuk mengajarkan ajaran agama
Islam ke dalam lingkungan masyarakat Jawa. Pencampuran ini dimaksudkan agar
tidak terjadi kekagetan terhadap budaya baru (culture shock) pada masyarakat
Jawa sehingga dapat menerima dan mengamalkan ajaran agama Islam secara
sukarela.
2. Nyadran
Nyadran merupakan
serangkaian tradisi yang berisi beberapa kegiatan, seperti Punggahan, Nyadran,
dan Madunan. Secara garis besar, tradisi ini memiliki maksud untuk mendoakan
para leluhur maupun keluarga yang sudah wafat. Masyarakat Jawa biasanya
membersihkan makam sanak saudara yang telah meninggal dunia.
Banyak pendapat yang
menjelaskan tentang asal usul nama Nyadran. Sebagian percaya, Nyadran berasal
dari bahasa Sansekerta. “Sraddha” berarti keyakinan, lalu dialihbahasakan ke
bahasa Jawa menjadi “Sadran” yang berarti Sudra, atau orang awam. Dengan kata
lain, Sadran adalah waktu berkumpul bagi orang awam. Sebagian lagi mengatakan
bahwa Nyadran berasal dari kata “Sodrun” yang memiliki arti dada atau hati.
Tradisi Nyadran biasanya
dilaksanakan pada hari ke 10 bulan Rajab atau tanggal 15, 16 Sya’ban.
Masyarakat yang melaksanakan tradisi ini akan melakukan ziarah kubur, melakukan
doa dan pengajian bersama serta diakhiri dengan makan bersama yang dibawa oleh
setiap warga saat mengikuti tradisi ini.
Upacara Nyadran awalnya
merupakan tradisi Hindu dan Buddha yang ada di Jawa. Namun ketika penyebaran
agama Islam di pulau Jawa sekitar abad 15, Walisongo menggunakan cara
pendekatan budaya yang digabungkan dengan dakwah untuk penyebaran Islam. Jika
dalam upacara Nyadran umat Hindu dan Buddha menggunakan puji-pujian serta
sesajen, Walisongo mengubahnya dengan menggunakan zikir, doa, dan pembacaan
ayat Al-Qur’an.
Akulturasi budaya seperti
ini yang membuat penyebaran Islam lebih mudah dikenal dan diterima oleh
masyarakat Jawa. Tradisi Nyadran juga dimaksudkan sebagai salah satu bentuk
silaturahmi antar keluarga, tetangga, dan masyarakat luas. Selain itu, menjadi
sarana intropeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan selama setahun
kebelakang dan sebagai pengingat untuk bersyukur karena dapat dipertemukan
kembali dengan bulan Ramadhan.
3. Wayang Da’wah
Kesenian Wayang di setiap
zamannya memiliki fungsi yang berbeda, pada awal keberadaannya, yakni di masa
Hindu-Budha Wayang berfungsi sebagai alat untuk menggambarkan nenek moyang.
Perlu menjadi catatan pula bahwa, walaupun agama Hindu-Budha telah masuk, namun
penghormatan kepada arwah nenek moyang tetap berlangsung karena orang Jawa pada
masa itu sangatlah takut akan kutukan dari nenek moyang atau biasa disebut
“kuwalat”. Wayang sendiri merupakan pengembangan dari ritual atau pemujaan
terhadap nenek moyang yang dilakukan oleh seorang Syaman (selama ritual
menggunakan topeng), biasanya disertai dengan nyanyian, tarian, dan musik.
Syaman tersebut kemudiaan menjadi “medium” untuk dirasuki oleh arwah nenek
moyang yang kemudian mengoceh menceritakan peranan para nenek moyang di masa
sebelumnya. Dari ritual seperti itulah orang-orang di Pulau Jawa kemudian
memunculkan Wayang, di mana nenek moyang digambarkan sebagai tokoh-tokoh Wayang
tersebut.
Kata Wayang berasal dari
bahasa Jawa Krama Ngoko (bahasa Jawa halus dan kasar) yang berarti perwajahan
yang terdiri barang dan lain sebagainya, yang terkena cahaya atau penerangan.
Perwajahan yang terdiri dari barang dan lain sebagainya yang terkena cahaya
(penerangan = bayangan). Secara istilah Wayang dapat pula didefinisikan sebagai
tiruan orang-orangan yang dibuat dari belulang (kayu, kertas) untuk membentuk
sebuah lelakon (cerita).
Pewayangan mempunyai andil
besar dalam pengislamanan masyarakat jawa. Sebetulnya wayang sendiri merupakan
peninggalan agama Hindu. Namun para Wali dapat berpikir rasional. Mereka sadar
bahwa pertunjukan wayang telah berakar kuat di masyarakat dan tidak mungkin
untuk dihilangkan begitu saja. Maka para wali melakukan perubahan dengan cara
mengubah bentuk dan memasukan unsure ke-Islaman, sehingga wyang menjadi suatu
alat da’wah yang sangat digemari dalam masyarakat. Di antara para wali yang
sangat terkenal sering mendalang adalah Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga sangat
berhasil dalam berdakwah dengan wayang.
Unsur baru berupa ajaran Islam dimasukkan dalam pewayangan. Ia membuat “pakem
pewayangan baru” yang bernafaskan Islam dengan cara menyelipkan ajaran Islam
dalam pakem pewayangan yang asli. Dengan cara demikian, masyarakat yang
menonton Wayang dapat menerima langsung ajaran Islam dengan suka rela dan
mudah.
Selain itu Wali Songo
mengambil metode dengan jalan mempersonifikasikan atau memanusiakan tokoh-tokoh
“Pandawa Lima” seperti Puntadewa untuk Syahadat, Bima untuk Shalat, Arjuna
untuk zakat, Nakulo-Sadewa untuk puasa Ramadhan dan Haji. Bahkan kisah-kisah
pewayangan dijadikan media terutama untuk mengajarkan ilmu Tasawuf , hakikat,
syariat, ibadah dan lain-lain.
Sunan Kalijaga mementaskan
Wayang kulit dengan cerita dan dialog sekitar Tasawuf dan akhlaqul karimah,
untuk melemahkan masyarakat yang pada waktu itu beragama Hindu dan Budha yang
ajarannya berpusat pada kebatinan. Pada masa itu saat Majapahit masih cukup
berkuasa, Sunan Kalijaga berusaha memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks
dalam kisah pewayangan yang sudah mendarah daging di kalangan penduduk
Majapahit. Dengan melakonkan cerita Mahabarata, para mubaligh dapat memasukkan
unsur-unsur sendi kepercayaan atau aqidah, ibadah dan juga akhlaqul-karimah.
Berikut beberapa contoh akulturasi antara kisah atau pakem pewayangan yang berdasarkan budaya Hindu-Budha yang kemudian digabungkan dengan unsur-unsur Islam:
· Kalimah-Syahadah dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa atau Samiaji sebagai saudara tua dari Pandawa, karena kalimah Syahadah memang rukun Islam yang pertama. Dalam cerita wayang, sifat-sifat Puntadewa sebagai raja (syahadat bagaikan rajanya rukun Islam) yang memiliki sikap berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan, sebagai pengejawantahan dari kalimah Syahadat yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Puntadewa memimpin empat saudaranya dengan penuh suka duka dan kasih sayang. Demikian pula kalimah Syahadat sebagai “rajanya” rukun Islam yang lainnya, karena biarpun seseorang menjalankan rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima, namun apabila tak menjalankan rukun Islam yang pertama maka semua amalannya akan sia-sia belaka.
4. Wayang Kronik
Selama ini pentas wayang
Jawa yang dipadukan dengan seni Tiongkok, hanya sebatas penyebutan akulturasi,
tapi belum memiliki nama atau identitas. Tapi beda halnya dengan Wayang Kronik,
generasi baru dalam seni pewayangan, hasil karya dari Foe Jose Amadeus Krisna. Wayang
Kronik adalah bentuk dari akulturasi, bentuknya mengambil wayang purwa Jawa,
tetapi diberi ornamen-ornamen khas Tiongkok dan tidak meninggalkan tatahan
serta komposisi Wayang Jawa.
Untuk musiknya berupa
gamelan Jawa bernada slendro yang dikolaborasikan dengan musik tradisional
Tiongkok yang biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang Potehi.
Dalam pertunjukannya, menggunakan peralatan budaya Tiongkok, seperti gawangan
yang dipakai dalam Wayang Potehi hanya dalam ukuran yang lebih besar dan
menggunakan kelir, sedangkan bahasa yang digunakan melihat situasi, kalau
penontonnya mayoritas etnis Tionghoa yang bisa berbahasa Mandarin maka pertunjukan
akan menggunakan bahasa Mandarin. Tetapi penonton bukan etnis Tionghoa tetapi
masih dalam Negara Indonesia, maka pertunjukan akan menggunakan bahasa
Indonesia. Jika pertunjukan dilaksanakan di luar negeri, maka pertunjukan akan
menggunakan bahasa yang sering digunakan dalam negara tersebut.
Dalam dunia wayang
kreativitas memadukan seni atau akulturasi, seperti Jawa dan Tiongkok biasanya
disebut gagrak. “Gagrak adalah model bentuk wayang sebagai hasil dari upaya
mengotak-atik dan mempelajari wayang dari berbagai gaya. Maka lahirlah Wayang
Kronik, akulturasi seni Jawa dengan Tiongkok
5. Akulturasi Pada Makanan
a. Lumpia Rebung
Kata lumpia berasal dari dialek Hokkian yang berbunyi ‘Lun Pia’ yang
berarti kue bulat. Rasanya yang manis dan kaya akan rebung merupakan perpaduan
rasa antara Tionghoa dan Jawa
b. Bakso
Bakso merupakan kuliner dari Cina. Resep asli bakso
terbuat dari daging babi. Karena masyarakat Indonesia yang sebagian besar
menganut agama islam dan dilarang mengkonsumsi babi, pembuatan bakso pun
disesuaikan dengan norma agama dan adat di Indonesia. Umumnya bakso di
Indonesia berbahan utama daging sapi giling. Ada pula yang terbuat dari ayam,
ikan dan udang.
c. Bakwan
Makanan jenis gorengan ini biasanya terbuat dari
campuran berbagai sayuran dan tepung tapioka. Ada pula yang mengkombinasikan
bakwan dengan udang dan jagung. Di Indonesia ada pula yang menamai bakwan
dengan sebutan bala-bala. Ada yang berpendapat bahwa bakwan awalnya merupakan
nama lain dari bakso karena bakwan sendiri dalam Bahasa Cina berarti daging
bulat, sama dengan bakso. Penggunaan nama bakwan pun dianggap kurang tepat
sasaran. Salah satu kuliner Indonesia yang dianggap paling tepat menggunakan
kata bakwan adalah bakwan malang.
d. Perkedel
Perkedel merupakan gorengan yang umum ditemui di
Indonesia. Umumnya terbuat dari kentang tumbuk. Ternyata kuliner ini konon
merupakan versi lokal dari Frikadeller, gorengan berbahan kentang dan daging
dari Belanda. Di Indonesia sendiri tidak menggunakan daging karena pada zaman
dahulu sulit sekali untuk mendapatkan daging.
e. Semur
Semur terkenal sebagai kuliner otentik Indonesia
dengan rempah-rempah yang kaya dan daging-dagingan. Ternyata sejarah semur
mencatat bahwa semur ini terinspirasi dari kuliner Belanda bernama Smoor. Di
Belanda, smoor adalah daging yang direbus bersama tomat dan bawang dalam waktu
lama. Di Indonesia, masakan ini menjadi masakan kaya bumbu dengan bahan dasar
alternatif. Lambat laun, semur dengan citarasa lokal pun mulai bermunculan dan
menjadi kuliner khas beberapa daerah seperti semur Jengkol.
No comments:
Post a Comment