Saturday, October 17, 2020

Akulturasi Budaya Pada Suku Jawa

 

Akulturasi Budaya Pada Suku Jawa

1.      Slametan



Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari berbagai ritual keagamaan. Ritual ini telah ada sejak sebelum kedatangan Islam di Indonesia. masyarakat Jawa memiliki kepercayaan terhadap keberadaan roh halus pada setiap benda (animisme). Orang Jawa mempercayai keberadaan roh baik dan roh jahat di berbagai tempat. Roh jahat dipercaya akan mengganggu manusia setiap saat, dan baru berhenti ketika diberikan sesaji.

Pemberian sesaji harus dilakukan melalui serangkaian upacara. Sesaji dipersembahkan kepada roh yang biasanya bermukim di pohon beringin, sendang, belik, kuburan-kuburan, atau tempat-tempat lain yang dianggap keramat. Pemberian sesaji dilakukan dalam bentuk upacara. Upacara juga dilakukan untuk meminta berkah dari roh baik. untuk melestarikan upacara pemujaan itu, masyarakat membuat patung dari batu sebagai tempat-tempat pemujaan nenek moyang. Mereka juga membuat bunyi-bunyian, tari-tarian, dan bayang-bayang nenek moyang sebagai penyempurna jalannya upacara. Hal ini bertujuan agar roh nenek moyang berkenan menerima permohonan keselamatan yang mereka minta.

Salah satu upacara yang dianut oleh masyarakat Jawa adalah slametan. Slametan atau wilujengan merupakan salah satu upacara pokok dari hampir seluruh ritus dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya. Slametan ini biasanya dilakukan di salah satu rumah yang memiliki hajat tertentu, dengan mengundang keluarga dan tetangga terutama yang laki-laki. Slametan seringkali diadakan pada malam hari. Slametan dilakukan untuk memperingati beberapa hal seperti kelahiran, pernikahan, dan juga kematian.

Selamatan merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa yang mengalami akulturasi. Masyarakat Jawa dikenal dengan tradisi budayanya yang kental dan dipengaruhi oleh ajaran dan kepercayaan dari kebudayaan Hindu-Budha. Oleh karena itu, para ulama Islam yang menyebarkan agama Islam di Jawa, atau lebih dikenal sebagai Wali Songo, melakukan langkah akulturasi sebagai cara mereka untuk mengajarkan ajaran agama Islam ke dalam lingkungan masyarakat Jawa. Pencampuran ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekagetan terhadap budaya baru (culture shock) pada masyarakat Jawa sehingga dapat menerima dan mengamalkan ajaran agama Islam secara sukarela.

 

2.      Nyadran



Nyadran merupakan serangkaian tradisi yang berisi beberapa kegiatan, seperti Punggahan, Nyadran, dan Madunan. Secara garis besar, tradisi ini memiliki maksud untuk mendoakan para leluhur maupun keluarga yang sudah wafat. Masyarakat Jawa biasanya membersihkan makam sanak saudara yang telah meninggal dunia.

Banyak pendapat yang menjelaskan tentang asal usul nama Nyadran. Sebagian percaya, Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta. “Sraddha” berarti keyakinan, lalu dialihbahasakan ke bahasa Jawa menjadi “Sadran” yang berarti Sudra, atau orang awam. Dengan kata lain, Sadran adalah waktu berkumpul bagi orang awam. Sebagian lagi mengatakan bahwa Nyadran berasal dari kata “Sodrun” yang memiliki arti dada atau hati.

Tradisi Nyadran biasanya dilaksanakan pada hari ke 10 bulan Rajab atau tanggal 15, 16 Sya’ban. Masyarakat yang melaksanakan tradisi ini akan melakukan ziarah kubur, melakukan doa dan pengajian bersama serta diakhiri dengan makan bersama yang dibawa oleh setiap warga saat mengikuti tradisi ini.



Upacara Nyadran awalnya merupakan tradisi Hindu dan Buddha yang ada di Jawa. Namun ketika penyebaran agama Islam di pulau Jawa sekitar abad 15, Walisongo menggunakan cara pendekatan budaya yang digabungkan dengan dakwah untuk penyebaran Islam. Jika dalam upacara Nyadran umat Hindu dan Buddha menggunakan puji-pujian serta sesajen, Walisongo mengubahnya dengan menggunakan zikir, doa, dan pembacaan ayat Al-Qur’an.

Akulturasi budaya seperti ini yang membuat penyebaran Islam lebih mudah dikenal dan diterima oleh masyarakat Jawa. Tradisi Nyadran juga dimaksudkan sebagai salah satu bentuk silaturahmi antar keluarga, tetangga, dan masyarakat luas. Selain itu, menjadi sarana intropeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan selama setahun kebelakang dan sebagai pengingat untuk bersyukur karena dapat dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan.

 

3.      Wayang Da’wah


Kesenian Wayang di setiap zamannya memiliki fungsi yang berbeda, pada awal keberadaannya, yakni di masa Hindu-Budha Wayang berfungsi sebagai alat untuk menggambarkan nenek moyang. Perlu menjadi catatan pula bahwa, walaupun agama Hindu-Budha telah masuk, namun penghormatan kepada arwah nenek moyang tetap berlangsung karena orang Jawa pada masa itu sangatlah takut akan kutukan dari nenek moyang atau biasa disebut “kuwalat”. Wayang sendiri merupakan pengembangan dari ritual atau pemujaan terhadap nenek moyang yang dilakukan oleh seorang Syaman (selama ritual menggunakan topeng), biasanya disertai dengan nyanyian, tarian, dan musik. Syaman tersebut kemudiaan menjadi “medium” untuk dirasuki oleh arwah nenek moyang yang kemudian mengoceh menceritakan peranan para nenek moyang di masa sebelumnya. Dari ritual seperti itulah orang-orang di Pulau Jawa kemudian memunculkan Wayang, di mana nenek moyang digambarkan sebagai tokoh-tokoh Wayang tersebut.

Kata Wayang berasal dari bahasa Jawa Krama Ngoko (bahasa Jawa halus dan kasar) yang berarti perwajahan yang terdiri barang dan lain sebagainya, yang terkena cahaya atau penerangan. Perwajahan yang terdiri dari barang dan lain sebagainya yang terkena cahaya (penerangan = bayangan). Secara istilah Wayang dapat pula didefinisikan sebagai tiruan orang-orangan yang dibuat dari belulang (kayu, kertas) untuk membentuk sebuah lelakon (cerita).

Pewayangan mempunyai andil besar dalam pengislamanan masyarakat jawa. Sebetulnya wayang sendiri merupakan peninggalan agama Hindu. Namun para Wali dapat berpikir rasional. Mereka sadar bahwa pertunjukan wayang telah berakar kuat di masyarakat dan tidak mungkin untuk dihilangkan begitu saja. Maka para wali melakukan perubahan dengan cara mengubah bentuk dan memasukan unsure ke-Islaman, sehingga wyang menjadi suatu alat da’wah yang sangat digemari dalam masyarakat. Di antara para wali yang sangat terkenal sering mendalang adalah Sunan Kalijaga.



Sunan Kalijaga sangat berhasil  dalam berdakwah dengan wayang. Unsur baru berupa ajaran Islam dimasukkan dalam pewayangan. Ia membuat “pakem pewayangan baru” yang bernafaskan Islam dengan cara menyelipkan ajaran Islam dalam pakem pewayangan yang asli. Dengan cara demikian, masyarakat yang menonton Wayang dapat menerima langsung ajaran Islam dengan suka rela dan mudah.

Selain itu Wali Songo mengambil metode dengan jalan mempersonifikasikan atau memanusiakan tokoh-tokoh “Pandawa Lima” seperti Puntadewa untuk Syahadat, Bima untuk Shalat, Arjuna untuk zakat, Nakulo-Sadewa untuk puasa Ramadhan dan Haji. Bahkan kisah-kisah pewayangan dijadikan media terutama untuk mengajarkan ilmu Tasawuf , hakikat, syariat, ibadah dan lain-lain.

Sunan Kalijaga mementaskan Wayang kulit dengan cerita dan dialog sekitar Tasawuf dan akhlaqul karimah, untuk melemahkan masyarakat yang pada waktu itu beragama Hindu dan Budha yang ajarannya berpusat pada kebatinan. Pada masa itu saat Majapahit masih cukup berkuasa, Sunan Kalijaga berusaha memasukan unsur-unsur Islam yang kompleks dalam kisah pewayangan yang sudah mendarah daging di kalangan penduduk Majapahit. Dengan melakonkan cerita Mahabarata, para mubaligh dapat memasukkan unsur-unsur sendi kepercayaan atau aqidah, ibadah dan juga akhlaqul-karimah.

Berikut beberapa contoh akulturasi antara kisah atau pakem pewayangan yang berdasarkan budaya Hindu-Budha yang kemudian digabungkan dengan unsur-unsur Islam:

·         Kalimah-Syahadah dipersonifikasikan dalam tokoh Puntadewa atau Samiaji sebagai saudara tua dari Pandawa, karena kalimah Syahadah memang rukun Islam yang pertama. Dalam cerita wayang, sifat-sifat  Puntadewa sebagai raja (syahadat bagaikan rajanya rukun Islam) yang memiliki sikap berbudi luhur dan penuh kewibawaan. Seorang raja yang arif bijaksana, adil dalam ucapan dan perbuatan, sebagai pengejawantahan dari kalimah Syahadat yang selamanya mengilhami kearifan dan keadilan. Puntadewa memimpin empat saudaranya dengan penuh suka duka dan kasih sayang. Demikian pula kalimah Syahadat sebagai “rajanya” rukun Islam yang lainnya, karena biarpun seseorang menjalankan rukun Islam yang kedua, ketiga, keempat, dan kelima, namun apabila tak menjalankan rukun Islam yang pertama maka semua amalannya akan sia-sia belaka.

 ·         Shalat lima waktu dipersonifikasikan dalam tokoh Bima. Dalam kisah pewayangan tokoh tersebut dikenal juga sebagai Penegak Pandawa. Ia hanya dapat berdiri saja, karena memang tidak dapat duduk. Tidur dan merempun konon berdiri pula. Demikian pula sholat lima waktu selamanya harus ditegakkan. Baginya terpikul tugas penegak agama Islam dan jangan lupa sholat adalah tiang agama. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “ Shalat lima waktu adalah penegak agama Islam. Siapa-siapa yang menjalankannya berarti menegakan Islam…”

 · Zakat dipersonifiksikan dengan tokoh ketiga dalam Pandawa yakni Arjuna. Nama Arjuna diambil dari kata “jun” yang berarti jambangan. Benda ini merupakan symbol jiwa yang jernih. Kejernihan Arjuna memancar pada jiwa dan tubuhnya. Arjuna juga merupakan seorang pecinta seni keindahan. Perasaannya amat halus dan hangat. Karena kehalusannya, Arjuna jadi sulit mengatakan “tidak”. Karena kehalusan budi pekertinya tersebut Arjuna seolah-olah mempunyai kesan lemah. Padahal semua itu dilakukan agar tidak menyakiti hati orang lain. Selain itu dalam perang yang dijalaninya Arjuna tidak terkalahkan. Maka demikianlah, zakat sebagai rukun Islam yang ketiga, karena setiap muslim berkewajiban berzakat, mengandung inti kebijaksanaan agar setiap orang Islam untuk berjuang memperoleh rizki dan kekayaan. Dalam cerita kepahlawanan Pandawa, Bima dan Arjuna paling menonjol peranannya, satu terhadap lainnya sangat memerlukan hingga menjadi dwi-tunggal yang tidak terpisahkan. Demikian pula sholat lima waktu dan zakat merupakan dua rukun Islam yang tidak terpisahkan, selamanya berjalan seiring-sejalan.

 ·         Puasa Ramadhan dan Haji, dipersonifikasikan dalam tokoh kembar Nakula-Sadewa. Kedua tokoh ini tampil pada saat-saat tertentu saja. Demikian pula dengan puasa Ramadhan dan Haji tidak setiap hari dikerjakan. Bulan Ramadhan untuk puasa dan bulan Zulhijah, sekali dalam setahun untuk melakukan ibadah Haji. Pandawa bukanlah Pandawa tanpa si kembar Nakula dan Sadewa. Memanglah demikian, Puasa Ramadhan dan Haji lahir pada bulan tertentu, tidak demikian halnya dengan 3 rukun Islam sebelumnya, yang dilakukan setiap saat tiap hari.

 

4.      Wayang  Kronik



Selama ini pentas wayang Jawa yang dipadukan dengan seni Tiongkok, hanya sebatas penyebutan akulturasi, tapi belum memiliki nama atau identitas. Tapi beda halnya dengan Wayang Kronik, generasi baru dalam seni pewayangan, hasil karya dari Foe Jose Amadeus Krisna. Wayang Kronik adalah bentuk dari akulturasi, bentuknya mengambil wayang purwa Jawa, tetapi diberi ornamen-ornamen khas Tiongkok dan tidak meninggalkan tatahan serta komposisi Wayang Jawa.

Untuk musiknya berupa gamelan Jawa bernada slendro yang dikolaborasikan dengan musik tradisional Tiongkok yang biasanya digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang Potehi. Dalam pertunjukannya, menggunakan peralatan budaya Tiongkok, seperti gawangan yang dipakai dalam Wayang Potehi hanya dalam ukuran yang lebih besar dan menggunakan kelir, sedangkan bahasa yang digunakan melihat situasi, kalau penontonnya mayoritas etnis Tionghoa yang bisa berbahasa Mandarin maka pertunjukan akan menggunakan bahasa Mandarin. Tetapi penonton bukan etnis Tionghoa tetapi masih dalam Negara Indonesia, maka pertunjukan akan menggunakan bahasa Indonesia. Jika pertunjukan dilaksanakan di luar negeri, maka pertunjukan akan menggunakan bahasa yang sering digunakan dalam negara tersebut.

Dalam dunia wayang kreativitas memadukan seni atau akulturasi, seperti Jawa dan Tiongkok biasanya disebut gagrak. “Gagrak adalah model bentuk wayang sebagai hasil dari upaya mengotak-atik dan mempelajari wayang dari berbagai gaya. Maka lahirlah Wayang Kronik, akulturasi seni Jawa dengan Tiongkok

 

5.      Akulturasi Pada Makanan

a.      Lumpia Rebung

Kata lumpia berasal dari dialek Hokkian yang berbunyi ‘Lun Pia’ yang berarti kue bulat. Rasanya yang manis dan kaya akan rebung merupakan perpaduan rasa antara Tionghoa dan Jawa

b.      Bakso



Bakso merupakan kuliner dari Cina. Resep asli bakso terbuat dari daging babi. Karena masyarakat Indonesia yang sebagian besar menganut agama islam dan dilarang mengkonsumsi babi, pembuatan bakso pun disesuaikan dengan norma agama dan adat di Indonesia. Umumnya bakso di Indonesia berbahan utama daging sapi giling. Ada pula yang terbuat dari ayam, ikan dan udang.

c.       Bakwan

Makanan jenis gorengan ini biasanya terbuat dari campuran berbagai sayuran dan tepung tapioka. Ada pula yang mengkombinasikan bakwan dengan udang dan jagung. Di Indonesia ada pula yang menamai bakwan dengan sebutan bala-bala. Ada yang berpendapat bahwa bakwan awalnya merupakan nama lain dari bakso karena bakwan sendiri dalam Bahasa Cina berarti daging bulat, sama dengan bakso. Penggunaan nama bakwan pun dianggap kurang tepat sasaran. Salah satu kuliner Indonesia yang dianggap paling tepat menggunakan kata bakwan adalah bakwan malang.

d.      Perkedel

Perkedel merupakan gorengan yang umum ditemui di Indonesia. Umumnya terbuat dari kentang tumbuk. Ternyata kuliner ini konon merupakan versi lokal dari Frikadeller, gorengan berbahan kentang dan daging dari Belanda. Di Indonesia sendiri tidak menggunakan daging karena pada zaman dahulu sulit sekali untuk mendapatkan daging.

e.       Semur



Semur terkenal sebagai kuliner otentik Indonesia dengan rempah-rempah yang kaya dan daging-dagingan. Ternyata sejarah semur mencatat bahwa semur ini terinspirasi dari kuliner Belanda bernama Smoor. Di Belanda, smoor adalah daging yang direbus bersama tomat dan bawang dalam waktu lama. Di Indonesia, masakan ini menjadi masakan kaya bumbu dengan bahan dasar alternatif. Lambat laun, semur dengan citarasa lokal pun mulai bermunculan dan menjadi kuliner khas beberapa daerah seperti semur Jengkol.

 

 

No comments:

Post a Comment

THE LITTLE MATCH GIRL ~ a translation of hans christian andersen's "den lille pige med svovlstikkerne"

  THE LITTLE MATCH GIRL Hari itu sangat dingin. Salju turun, dan hari hampir gelap. Malam tiba, malam terakhir tahun ini. Dalam cuaca dingin...