1. Gejog
Seperti yang dikutip dari detik.com, pascapandemi
corona, Desa Jetak, Kecamatan Tulakan, Pacitan, mendadak jadi pusat perhatian.
Itu karena tradisi unik yang kembali dilakukan warganya saat wabah corona
melanda dunia.
Masyarakat setempat menyebutnya 'Gejog'.
Sebuah ritual tolak bala yang diyakini dapat mengusir marabahaya yang datang.
"Zaman dahulu di desa kami apabila
terjadi pagebluk (wabah) orang-orang tua dulu melaksanakan ritual ini,"
ucap Marjuni, Kepala Desa Jetak
Inti tradisi tersebut, lanjut Marjuni, adalah membunyikan kentongan
secara serempak. Sesuai waktu yang disepakati, semua kepala keluarga yang
memiliki alat komunikasi tradisional tersebut memukulnya berulang-ulang.
Waktu yang dipilih adalah sekitar 20 menit menjelang maghrib.
Bersamaan bunyi aba-aba dari pemuka desa, bunyi-bunyian ritmis pun terdengar
memenuhi seantero dusun. Lantunan musik perkusi itu baru berhenti saat azan maghrib
berkumandang.
"Menjelang
surup (petang) semua warga sini memukul kentongan. Kalau yang ndak punya
kentongan yang dipukul ya benda lain. Pokoknya yang bisa mengeluarkan
bunyi," imbuh kades.
Marjuni pun bernostalgia dengan masa kecilnya. Kala itu, wabah
kolera menyerang sebagian besar warga desa. Dahsyatnya serangan penyakit perut
itu membuat masyarakat dan pemerintah desa kewalahan menghadapinya.
"Akhirnya disepakati mengadakan tradisi Gejog itu,"
tuturnya.
Menurut Marjuni, munculnya tradisi tersebut tak lepas dari
kepercayaan yang dianut sebagian masyarakat. Konon, serangan wabah berkait erat
dengan peran makhluk halus. Waktu kedatangannya adalah saat petang menjelang
maghrib.
Meski tak sepenuhnya dapat dibuktikan dengan logika, namun Marjuni
memilih ikut melestarikan tradisi turun-temurun itu. Sebab, gerakan sederhana
tersebut merupakan bentuk kearifan lokal. Setidaknya,
dengan penanda berupa bunyi-bunyian pesan kepada warga lebih mudah
tersampaikan. Termasuk di antaranya peringatan kesiapsiagaan untuk mencegah
penularan corona.
"Warga
yang sebelumnya kurang tahu (corona) jadi tahu. Akhirnya hati-hati dan waspada
semua," pungkasnya.
2.
Padasan
Salah satu
anjuran World Health Organization (WHO) agar terhindar dari virus Corona adalah
rajin mencuci tangan dan menjaga kebersihan diri. WHO juga menganjurkan mandi
dan mengganti pakaian setelah dari luar rumah, sebelum berinteraksi dengan
keluarga. Tujuannya agar virus atau bakteri yang menempel di tubuh dan pakaian
tidak ikut terbawa masuk sehingga meminimalisir penyebaran virus Corona kepada
anggota keluarga.
Berkaitan
dengan menjaga kebersihan setelah dari luar rumah, sebenarnya Indonesia
memiliki kearifan lokal yang sudah ada sejak lama. Kearifan lokal itu berasal
dari budaya Jawa. Namanya padasan yang berarti gentong atau tempayan berisi air
yang terbuat dari tanah liat. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) daring, padasan artinya tempayan yang diberi lubang pancoran (tempat air
wudhu).
Di masa
lalu, padasan biasa diletakan di depan rumah. Posisinya di luar pagar sebelum
masuk ke pekararangan atau ruangan di dalam rumah. Fungsinya untuk membersihkan
diri seperti mencuci tangan, kaki, dan membasuh muka.
Dulu hampir
semua masyarakat di pedesaan menyediakan padasan di depan rumahnya. Biasanya
diletakan dekat jalan. Selain gentong atau tempayan yang diberi lubang,
terkadang ada juga pemilik rumah yang melengkapi padasan-nya dengan gayung dari
batok kelapa atau biasa disebut siwur dalam bahasa Jawa.
Tujuan
diletakannya padasan di pinggir jalan adalah agar siapa pun yang membutuhkan
air bisa mengambilnya sesuai keperluan. Semua pejalan kaki dan orang-orang yang
lewat bisa memanfaatkan air di dalam padasan.
3.
Minum Jamu
Karena virus corona penguatan kesadaran atas
tradisi budaya masyarakat Jawa minum jamu (berbahan baku empon-empon)
semakin dipercaya bermanfaat memperkuat daya tahan tubuh dalam menghadapi COVID-19.
Sudah sejak lama ramuan rempah-rempah seperti jahe dipercaya memiliki
kemampuan untuk meredakan berbagai macam gejala penyakit seperti pilek, mual,
radang sendi, migrain, dan hipertensi. Fakta ini tercantum dalam edisi kedua
Herbal Medicine: Biomolecular and Clinical Aspects. Herbal yang lazim
dikonsumsi dengan madu ini menawarkan senyawa anti-inflamasi termasuk antioksidan--zat
yang melindungi tubuh dari kerusakan oleh radikal bebas.
Studi oleh Sepide Mahluji, dkk (2013) menyimpulkan bahwa suplemen jahe
yang dikonsumsi oral berhasil mengurangi peradangan pada pasien diabetes tipe
2. Suplemen jahe juga dapat mengurangi gangguan pencernaan, kembung, dan kram
usus.
Sementara penelitian lain yang diterbitkan di jurnal Ethnopharmacol
(2013) menyebut seduhan jahe segar--kita mengenalnya sebagai wedang
jahe--memiliki khasiat antivirus dan sifat antibakteri. Tim peneliti menemukan
bahwa wedang jahe bisa menangkal virus penyebab infeksi pernapasan (HRSV).
Hanya saja takaran jahe dalam penelitian tersebut rata-rata berdosis
tinggi, sehingga belum diketahui efek ramuan jahe “penangkal” corona--yang
rata-rata dosisnya tidak pasti atau takarannya disupervisi oleh ahli.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) Hardhi
Pranat menyebut tanaman herbal lain, yakni kunyit mengandung zat kurkumin yang
bekerja meningkatkan daya tahan tubuh. Manfaat serupa diberikan oleh zat
polifenol dalam jahe. Kunyit juga memiliki zat anti kataral yang dapat
memperbanyak produksi lendir.
Lendir tersebut bisa membatu mengeluarkan virus saat menyerang saluran
pernapasan. Hanya saja Hardhi menggarisbawahi efek-efek tersebut baru bisa didapat
setelah mengonsumsi herbal rimpang secara rutin dalam jangka waktu panjang.
Khasiatnya juga cuma membantu meningkatkan daya tahan tubuh, bukan
membunuh virus maupun bakteri. Terlebih, virus corona dalam klaim penyembuhan
obat tersebut belum tentu SARS-CoV-2 pemicu COVID-19. Tapi bisa saja virus
corona penyebab pilek biasa.
Jadi tradisi minum jamu yang merupakan salah satu
kearifan local dari orang jawa ini apabila dilaksanakan belum tentu dapat
menangkal korona, akan tetapi tidak ada salahnya untuk dilakukan karna baik
untuk menjaga daya tahan tubuh ditengah
pendemi..
No comments:
Post a Comment